Friday 24 May 2013

"TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT"

 
Hendaklah diketahui bahwa perjalanan seseorang hamba yang ingin menuju kehadlirat Allah SWT ia akan menghadapi beberapa rintangan-rintangan atau penghalang-penghalang.

Didalam kitab Ad-Durrunnafis (Permata Yang Indah) karya Syeikh M. Nafis Bin Idris Al-Banjarie yang diterjemahkan oleh K.H. Haderanie H.N, dijelaskan bahwa : “Hal-hal yang dapat merusakkan perjalanan menuju Allah SWT itu diantaranya :

a.Kasal (Malas), yaitu malas untuk mengerjakan ibadat kepada Allah SWT, padahal sebenarnya anda dapat dan sanggup untuk melakukan ibadat itu.

b.Futur (Bimbang/Lemah pendirian), yaitu tidak memi liki tekad yang kuat karena terpengaruh oleh kehidupan duniawi.

c.Malal (Pembosan), yaitu cepat merasa jemu dan bosan untuk melaksanakan ibadat karena merasa terlalu sering dilakukan padahal tujuan belum juga tercapai.

Timbulnya hal-hal tersebut diatas adalah disebabkan kurang kuatnya rasa keimanan, kurang mantapnya keyakinan, dan banyak terpengaruh oleh hawa nafsunya sendiri.

Selanjutnya hal-hal yang mengakibatkan gagalnya untuk mencapai tujuan, antara lain adanya penyakit “Syirik Khofi” (syirik tersembunyi) atau dengan kata lain timbulnya suatu tanggapan dalam hatinya bahwa segala amal ibadat yang dilakukannya adalah sepenuhnya dari kemampuannya sendiri, tidak dirasakannya dan diyakininya bahwa apa yang dilakukannya itu semua pada hakikatnya dari pada Allah SWT.

Hal-hal yang tergolong dalam syirik khofi antara lain adalah sebagai berikut :

1.Riya’, yaitu menampak-nampak kan ibadah atau amalnya kepada orang lain dengan maksud tertentu yang lain daripada Allah.

2.Sum’ah, yaitu sengaja mencerita-ceritakan tentang amal ibadatnya kepada orang lain bahwa dia beramal dengan ikhlas karena Allah dengan suatu maksud agar orang lain memberikan pujian dan sanjungan kepadanya.

3.‘Ujub (membanggakan diri), yaitu merasa hebat sendiri yang timbul dari dalam hatinya karena banyak amal ibadatnya, tidak dia rasakan bahwa semua itu adalah semata-mata karena karunia dan rahmat Allah.

4.Hajbun (hijab/dinding), yang dimaksud adalah karena terlena dan kagum atas keindahan amalnya, sehingga tertahan pandangan hatinya (syuhudnya) kepada kekaguman itu semata-mata, atau dengan kata lain terpengaruh kepada keindahan amal ibadatnya sendiri, tidak dirasakannya bahwa semua itu adalah karunia dari Allah swt.

Oleh sebab itu agar dapat terlepas dari hal-hal tersebut diatas hal mana dapat membahayakan perjalanan seorang hamba menuju Allah swt, maka tidak ada jalan lain kecuali memantapkan pandangan batin (musyahadah) dengan penuh keyakinan bahwa “ segala apapun yang terjadi pada hakikatnya adalah daripada Allah swt semata ”.

Didalam kitab “Minhajul ‘Abidin” karya Imam Ghazali dijelaskan : ada tujuh rintangan/penghalang yang mesti dilalui seseorang hamba dalam memperoleh yang dicarinya.

Hal pertama yang menggerakkan hamba untuk menempuh jalan ibadah ialah sentuhan samawi dan taufiq, khususnya dari Allah SWT, sebagaimana diisyaratkan oleh Rasulullah SAW : “Apabila cahaya telah masuk kedalam qalbu seseorang, qalbu itu akan terbuka dan menjadi lapang” kemudian beliau ditanya : “Wahai Rasulullah, adakah tanda-tanda untuk mengetahui keterbukaan itu ?” Beliau menjawab : “Menjauhi dunia, negeri yang penuh dengan tipu daya ; kembali ke akhirat, negeri abadi; dan bersiap-siap menghadapi maut sebelum ia tiba “.

Dihembuskan kedalam qalbu seseorang hamba Allah bahwa ia mempunyai Rabb yang memberikan berbagai macam nikmat. Dia berkata : “Rabbi menuntutku untuk bersyukur dan mengabdi kepada-Nya. Jika aku lalai, maka Dia akan mencabut nikmat-Nya dariku. Dia telah mengutus seorang rasul kepadaku dengan membawa berbagai mu’jizat dan memberitahukan bahwa aku mempunyai Rabb Yang Maha Mengetahui lagi Berkuasa. IA akan memberi pahala karena mentaati-Nya dan akan menyiksa karena mendurhakai-Nya”. Rabb telah mengeluarkan perintah dan larangan. Dia (hamba) merasa khawatir terhadap dirinya disisi Rabb. Dia tidak menemukan jalan keluar dari kemelut ini kecuali mencari bukti-bukti yang menunjukkan adanya Maha Pencipta dengan mengetahui ciptaan-Nya. Setelah itu tercapailah keyakinan akan adanya Rabb yang memiliki sifat tersebut.

Inilah rintangan pertama, berupa Ilmu dan Ma’rifat (pengetahuan) yang dijumpainya dipermulaan jalan menuju terbukanya mata hati dengan cara belajar dan bertanya kepada Ulama yang mengerti tentang kehidupan akhirat.

Setelah keyakinan tentang adanya Rabb tercapai, ma’rifat mendorongnya untuk memulai pengabdian. Akan tetapi dia tidak mengetahui bagaimana seharusnya dia beribadah kepada Rabb. Dia mempelajari kewajiban-kewajiban syar’i, baik yang bersifat lahir maupun yang bersifat batin. Ketika ilmu dan ma’rifat telah melengkapi dirinya, maka terdoronglah ia untuk melaksanakan ibadah. Dia menyadari bahwa dirinya adalah seorang yang berdosa sebagaimana halnya kebanyakan orang. Dia berkata : “Bagaimana aku dapat melakukan keta’atan, sedangkan aku selalu bergelimang dalam berbagai maksiat. Aku wajib bertaubat dahulu kepada-Nya agar Dia melepaskan diriku dari cengkraman dosa, dan membersihkan diriku dari segala kekotorannya sehingga aku pantas untuk mengabdi kepada-Nya”. Disini ia berhadapan dengan rintangan kedua yaitu tobat. Setelah menjalani tobat dengan memenuhi segala hak dan persyaratannya, dia kembali memperhatikan jalan. Tiba-tiba dilihatnya beberapa hal yang menghambat jalan untuk beribadah kepada Allah. Ada empat hambatan yang dihadapinya, yaitu : dunia, makhluk, setan dan nafsu. Kini ia menghadapi rintangan ketiga berupa hambatan-hambatan. Dia harus mendobraknya dengan empat perkara pula, yaitu : Melepaskan diri dari dunia, tidak menggantungkan diri kepada makhluk, dan memerangi setan dan hawa nafsunya. Dari empat hambatan tersebut , maka nafsu merupakan penghambat yang paling berat, karena manusia tidak mungkin melepaskan diri darinya atau mengalahkannya seperti mengalahkan setan, lantaran nafsu merupakan kendaraan dan alat. Jika dia menurutinya, maka ia tidak akan mempunyai keinginan untuk melakukan ibadah, karena nafsu merupakan tabiat yang sangat bertentangan dengan kebaikan. Manusia perlu mengendalikan nafsu dengan taqwa, agar selamat dan dapat menggunakannya dalam berbagai kebaikan serta mencegahnya dari segala kejahatan.

Setelah berhasil menerobos rintangan ketiga, kini ia berhadapan dengan rintangan keempat yang membuatnya tidak bergairah (malas) dalam melakukan ibadah kepada Allah swt. Rintangan yang dihadapinya inipun ada empat :

Pertama, rezeki yang dituntut oleh nafsu dan memang merupakan suatu keperluan ;

Kedua, berbagai hal yang ditakuti, diharapkan, diinginkan atau dibencinya, sedangkan dia tidak mengetahui kebaikan dan kerusakannya disitu ;

Ketiga, berbagai bencana dan musibah yang mengepungnya dari segala sudut, apalagi ia telah bertekad untuk tidak bergantung kepada makhluk, memerangi setan dan mengalahkan nafsu.

Keempat, bermacam-macam qadho’ (ketentuan) Allah.

Untuk menerobos keempat penghambat tersebut diapun memerlukan empat perkara, yaitu :

Pertama, bertawakkal kepada Allah dalam masalah rezeki.

Kedua, menyerahkan masalah bahaya kepada-Nya.

Ketiga, bersabar dalam menghadapi berbagai musibah.

Keempat, ridho menerima qadho (ketentuan) dari Allah.

Setelah berhasil menerobos rintangan keempat, tiba-tiba nafsunya menjadi lesu dan malas, tidak bersemangat dan tidak bergairah untuk melakukan kebaikan sebagaimana mestinya. Nafsunya cendrung lalai dan menganggur, bahkan cendrung kepada hal yang sia-sia dan berlebihan. Disini ia membutuhkan penuntun agar ta’at dan dapat merobohkan benteng perbuatan maksiat, yaitu berupa harapan (raja’) dan takut (khauf) ; harapan akan kemuliaan yang telah dijanjikan, dan takut akan berbagai siksaan dan hinaan yang telah diancamkan. Yang dihadapi kali ini rintangan kelima yaitu rintangan pendorong. Untuk menerobosnya dia memerlukan dua perkara tersebut yaitu : harapan (raja’) dan takut (khauf) seperti tersebut diatas.

Setelah berhasil menerobos rintangan kelima, dia tidak melihat satu rintanganpun. Yang dia dapatkan adalah pendorong dan penggerak, sehingga dia melakukan ibadah dengan penuh gairah dan kerinduan. Kemudian dia merenungi ; tiba-tiba tampak olehnya dua bahaya besar menghadangnya, yaitu riya’ dan ‘ujub (takabbur). Kadang-kadang ketaatannya ingin dilihat orang lain, dan kadang-kadang dia ingin membanggakan serta memuliakan dirinya.

Disini dia berhadapan dengan rintangan keenam, berupa penyakit hati. Untuk menerobosnya, dia harus ikhlas dan ingat bahwa semua ini adalah karunia Allah. Setelah berhasil melaluinya dengan perlindungan dan pertolongan Allah Yang Maha Perkasa, maka tercapailah kesempurnaan ibadah sebagai mana yang diharapkan.

Akan tetapi ketika dia merenung kembali, tiba-tiba didapati dirinya tenggelam didalam lautan nikmat Allah berupa taufiq dan perlindungan. Dia takut kalau-kalau lalai bersyukur, sehingga terjerumus kedalam kekufuran dan turun dari martabat yang tinggi. Disinilah dia berhadapan dengan rintangan terakhir (ketujuh) yaitu pujian dan syukur. Dia baru akan berhasil melewati rintangan itu jika dia memperbanyak memuji Allah dan bersyukur atas nikmat dan karunia yang dilimpahkan-Nya.

Setelah berhasil melewatinya, sampailah dia sekarang kepada maksud dan tujuan. Kini dia hidup dalam kondisi yang paling baik dari sisa-sisa umurnya, dirinya didunia dan qalbunya diakhirat. Hari demi hari dia menantikan kedatangan utusan Allah yaitu malaikat yang akan mencabut nyawanya. Maka muncullah kerinduannya kepada malaikat yang ada dilangit. Tiba-tiba dia mendapatkan utusan Rabb semesta alam itu memberikan khabar gembira kepadanya berupa keridhoan Rabb, bukan kemurkaan-Nya. Utusan itu (malaikat pencabut nyawa) memindahkannya dalam keadaan sebagai diri yang baik dan manusia yang sempurna dari dunia yang fana ini ke hadlirat Ilahi dan taman surga, lalu diperlihatkan kepada dirinya yang fakir itu keindahan surga dan kerajaan Yang Agung.

TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT (D. MA’ RIFAT)

Sebagaimana telah diterangkan di atas, bahwa Ma’rifat itu merupakan tujuan pokok, yakni mengenal Allah yang sebenar-benarnya dengan keyakinan yang penuh tanpa ada keraguan sedikitpun (haqqul yaqin). Menurut Imam Al-Ghazali : “ Ma’rifat adalah pengetahuan yang tidak menerima keraguan terhadap Zat dan Sifat Allah SWT “. Ma’rifat terhadap Zat Allah adalah mengetahui bahwa sesungguhnya Allah adalah wujud Esa, Tunggal dan sesuatu Yang Maha Agung, Mandiri dengan sendiri-Nya dan tiada satupun yang menyerupai-Nya. Sedangkan ma’rifat Sifat adalah mengetahui dengan sesungguhnya Allah itu Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Mendengar dan Maha Melihat dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dari mengetahui tentang Zat dan Sifat Allah, maka selanjutnya Al-Ghazalipun memberi kesimpulan bahwa : “ Ma’rifat adalah mengetahui akan rahasia-rahasia Allah, dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada “ lebih lanjut ditegaskannya bahwa : “ Ma’rifat itu adalah memandang kepada wajah Allah SWT “.

Ma’rifat itu sendiri tidak dapat dipisahkan dengan Hakekat. Dengan kata lain datangnya ma’rifat adalah karena terbukanya Hakekat.

Taftazany menerangkan dalam kitab “Syarhul Maqasid” : “Apabila seseorang telah mencapai tujuan akhir dalam pekerjaan suluknya (ilallah dan fillah), pasti ia akan tenggelam dalam lautan tauhid dan irfan sehingga zatnya selalu dalam pengawasan zat Tuhan (tauhid zat) dan sifatnya selalu dalam pengawasan sifat Tuhan (tauhid sifat). Ketika itu orang tersebut fana (lenyap dari sifat keinsanan). Ia tidak melihat dalam wujud alam ini kecuali Allah (laa maujud ilallah).”

Dalam hal ini, seperti apa yang dialami oleh Imam Al-Ghazali dimana ketika orang mengira bahwa Imam Al-Ghazali telah wusul – mencapai tujuannya yang terakhir ke derajat yang begitu dekat kepada Tuhan, maka Imam Al-Ghazali berkata : “Barangsiapa mengalaminya, hanya akan dapat mengatakan bahwa itu suatu hal yang tak dapat diterangkan, indah, utama dan jangan lagi bertanya”. Selanjutnya Imam Al-Ghazali menerangkan : “Bahwa hatilah yang dapat mencapai hakekat sebagaimana yang tertulis pada Lauhin Mahfud, yaitu hati yang sudah bersih dan murni. Tegasnya tempat untuk melihat dan Ma’rifat kepada Allah ialah hati.”

Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya “Madarijus Salikin “ : “Ma’rifat adalah suatu kedudukan yang tinggi dari kedudukan orang-orang mu’min (disisi Allah) dan derajat yang tertinggi dari derajat orang-orang yang mendaki menuju alam surgawi “. Selanjutnya beliau berkata : “Bahwa seseorang tidak dikatakan memiliki ma’rifat terkecuali mengetahui Allah SWT melalui jalan yang mengantarkannya kepada Allah, mengetahui segala bentuk penyakit atau penghalang yang ada pada sisinya, yang mengakibatkan terhambatnya hubungan dirinya dengan Allah, yang mana kesemuanya itu ia saksikan dengan ma’rifatnya. Jadi, orang ma’rifat adalah orang yang mengetahui Allah melalui media nama-nama-Nya, sifat-sifat dan perbuatan-Nya. Kemudian berhubungan dengan Allah secara tulus, bersikap ikhlas dan sabar terhadap-Nya dalam menjauhi segala bentuk perbuatan maksiat serta meneguhkan niatnya. Berusaha untuk menanggalkan budi pekerti yang buruk serta penyakit yang merusak. Mensucikan dirinya dari berbagai bentuk kotoran dan kemaksiatan. Bersabar atas hukum-hukum Allah dalam menghadapi segala nikmat-Nya (tidak terlena), dan musibah yang menimpanya (tidak putus asa). Lalu berdakwah menuju jalan Allah berdasarkan pengetahuannya terhadap agama dan ayat-ayat-Nya. Berdakwah hanya menuju kepada-Nya dengan apa yang dibawa utusan-Nya (yaitu Nabi Muhammad SAW), dengan tidak ditambahi dengan pandangan-pandangan akal manusia yang sesat, kecendrungan-kecendrungan mereka dan hasil kreasi mereka, kaidah-kaidah dan logika-logika mereka yang menyesatkan. Dengan kata lain tidak mengukur risalah yang dibawa oleh Rasulullah dari Allah dengan kesemuanya itu diatas. Orang seperti inilah yang layak menyandang gelar sebagai orang yang ma’rifat kepada Allah, sekalipun banyak orang memberikan panggilan atau julukan yang lain kepadanya”.



Dibawah ini kami cantumkan beberapa khazanah perbendaharaan ma’rifat yang dihimpun oleh Prof. Dr. M. Faiz Al-Math dalam bukunya yang berjudul “Puncak Ruhani Kaum Sufi” diantaranya sebagai berikut :

1. Pendekatan kita kepada Allah adalah pendekatan ilmu, sebab mustahil terjadi suatu pendekatan kepada kebenaran Allah tanpa ilmu.

2. Barangsiapa yang mengenal Allah, maka ia akan menangkap kebesaran kuasa Allah dalam segala sesuatu. Jika ia yang selalu ingat (berzikir) kepada Allah, maka ia akan melupakan yang lain kecuali Allah. Dan siapa saja yang mencintai Allah, maka ia akan mencintai dan melaksanakan ajaran-Nya dan mencampakkan ajaran lain

3. Jika kita menginginkan pintu rahmat terbuka luas, resapilah dalam sanubari akan nikmat yang dianugerahkan Allah kepadamu. Dan jika kita berharap agar hati kita merasa takut akan siksa, renungilah kelalaian kita dalam mengabdi kepada - Nya.

4. Tanda-tanda seseorang ‘aulia’ yang arif adalah senantiasa memelihara rahasia antara dia dengan Allah, tangguh dalam menghadapi cobaan yang merintangi kehidupannya. Lebih-lebih pada cobaan yang diciptakan manusia ia selalu membalasnya dengan cara yang lebih bijaksana. Mengingat tingkat intelektual mereka (tiap orang) tidak sama.

5. Barangsiapa menyadari, bahwa Allah senantiasa mengingin kan kita menjadi orang baik dan Allah lebih memahami tentang hal-hal yang mengundang kemaslahatan, maka artinya kita mampu mensyukuri nikmat Allah dan berhati tentram.

6. Bila kita berkeinginan melacak sampai dimana derajat kita di sisi Allah, maka renungilah perbuatan kita sendiri kegigihan kita dalam beribadah dan sebagainya.

7. Ma’rifat terbangun atas tiga fondasi ; Takut kepada Allah, Malu kepada Allah dan Cinta kepada Allah.

8. Orang Arif adalah orang yang tidak pernah berhenti untuk berdzikir, tak enggan dalam menunaikan ibadah dan senang berdialog dengan Allah. Sehingga tercetak dalam lubuk hatinya sikap enggan bercengkrama dengan hal sia-sia yang tidak dilatarbelakangi manfaat agama.

9. Alangkah janggalnya jika seseorang yang telah menyaksikan ke Maha Kuasaan Allah, namun dia mendurhakai-Nya. Kemanakah dia akan lari untuk mencari tempat perlindu ngan, sedangkan ia menganggap bahwa Allah selalu mengawasi sepak terjangnya. Bagaimana akan berlalai-lalai jika ia merasakan nikmat Allah selalu datang silih berganti kepadanya.

10. Kearifan laksana tanah yang bisa diinjak-injak oleh orang baik dan buruk. Ia bagaikan awan yang mampu mengayomi segala sesuatu, dan bagaikan hujan yang akan jatuh kepada teman maupun lawan.

11. Kearifan, adalah bukanlah apa yang dapat dikeruhkan oleh segala sesuatu. Justru sebaliknya segala sesuatu akan tampak jernih.

12. Ma’rifat kepada Allah sebagai intensitas seseorang hingga menimbulkan rasa malu dalam hatinya, rasa malu kepada Allah yang didasarkan pada rasa mengagungkan. Sebagaimana tauhid merupaka pembangkit rasa puas (rela) terhadap takdir dan timbul rasa berserah diri kepada Zat Yang Maha Pengatur.

13. Ma’rifat, bila telah mendarah daging, maka menjadikan kehidupan seseorang akan jernih (tidak tertindih oleh kepedihan-kepedihan hidup) pencariannya akan bersih dari hal-hal atau unsur-unsur yang haram. Segala sesuatu akan segan kepadanya. Rasa takut kepada sesama mahluk akan lenyap dari hatinya dan akan cenderung untuk menyibukkan diri dalam ibadah kepada Allah.

14. Orang yang memandang sesuatu di dunia ini dari kaca mata ma’rifatnya, walau sesuatu itu dipandang, namun yang tergambar dalam benaknya adalah kekuasaan Allah. Oleh karena itu, mata boleh menangis lantaran melihat cobaan yang menimpa, namun hatinya bersukacita lantaran dosa-dosa yang telah lampau terhapuskan oleh musibah itu.

15. Belum merasa puas orang arif ketika ia meninggalkan dunia terhadap dua perkara, yaitu ; Meratapi terhadap kekurangan dalam beribadah dan Kurangnya banyak memuji Tuhannya.

Selanjutnya mengenai perjalanan menuju Allah sebagaimana tersebut di atas, dengan tahapan-tahapan atau tingkatan-tingkatan yaitu Syari’at, Thariqat, Hakekat, dan Ma’rifat M. S. Resa menyimpulkan dalam bukunya yang berjudul “Mencari Kemurnian Tauhid (Keesaan Allah)” sebagai berikut :

· Syari’at adalah perbuatan (jasad) si hamba dalam melaksanakan ibadah kepada Allah harus dengan semurni-murninya ibadah.

· Thariqat adalah jalan (hati) untuk menuju kesuatu tujuan yang diridhai Allah, dengan hati yang bersih dan ikhlas atas segala perbuatan dan menerima cobaan Allah SWT.

· Hakekat (nyawa) adalah tujuan untuk mencapai keridhaan Allah sehingga terbukti adanya “diri yang hakiki” yang kita hanya dapat merasakan dan sadari, bahwa diri yang yang keluar dari diri, sehingga kita dapat membuktikan dengan kesadaran yang hakiki tentang Kekuasaan Allah, tentang Rahasia Alam, tentang Alam Ghaib dan lain-lainnya.

· Ma’rifat (Rahasia Allah), adalah sampainya suatu tujuan sehingga terwujud suatu kenyataan dan terbukti kebe narannya (tidak diragukan lagi).

Dari bahasan tersebut diatas maka dapat kita simpulkan bahwa hamba yang akan berjalan menuju Allah swt, harus melalui tahapan-tahapan (marhalah-marhalah) yaitu melalui : Syari’at, Thariqat, Hakikat dan Ma’rifat, atau dengan kata lain harus menempuh proses empat tahapan diantaranya :

- Pertama : Marhalah Amal Lahir artinya berkekalan melakukan amal ibadah baik yang wajib ataupun yang sunnah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw atau disebut usaha menghias diri dengan Syari’at.

- Kedua : Marhalah Amal Bathin atau Muraqabah yaitu berusaha dengan sungguh-sungguh mensucikan diri dari maksiat lahir dan bathin (takhalli) dengan cara taubat dan istighfar, memperbanyak dzikir dan shalawat, menunduk kan hawa nafsu dan menghiasi diri dengan amal terpuji/mahmudah lahir dan bathin (tahalli) atau disebut menjalankan Thariqah.

Pada tahap ini, setelah hati dan rohani telah bersih karena terisi oleh taubat dan istighfar, dzikir-dzikir dan shalawat, maka dengan rahmat Allah datanglah Nur yang dinamakan Nur Kesadaran.

- Ketiga : Marhalah Riyadhah dan Mujahadah yaitu berusaha melatih diri dan melakukan jihad lahir dan bathin untuk menambah kuatnya kekuasaan rohani atas jasmani, guna membebaskan jiwa dari belenggu nafsu duniawi, supaya jiwa itu menjadi suci bersih bagaikan kaca yang segera dapat menangkap apa-apa yang bersifat suci, sehingga akan beroleh berbagai pengetahuan yang hakiki tentang Allah dan kebesaran-Nya. Pada tahap ini, mulailah jiwa sedikit demi sedikit merasakan hal-hal yang halus serta rahasia, merasakan kelezatan dan kedamaian, dan merasakan nikmatnya iman dan taqwa dalam jiwanya. Kemudian selanjutnya datanglah kasyaf/keterbukaan mata hati, menyusul terbuka hijab sedikit demi sedikit sehingga sampailah ia kepada Nur Yang Maha Agung sebagai puncak tahap/marhalah ketiga. Nur ini dinamakan Nur Kesiagaan yakni kesiagaan dalam muhadarah bersama Allah. Tahap ini juga disebut Tahap Hakikat.

-Keempat : Marhalah Fana-Kamil yaitu jiwa si salik telah sampai kepada martabat syuhudul haqqi bil haqqi yakni melihat hakekat kebenaran. Kemudian terbukalah dengan terang berbagai alam rahasia baginya yaitu rahasia-rahasia ke-Tuhanan/Rabbani. Dalam pada itu berolehlah dia nikmat besar dalam mendekati Hadrat Ilahi Yang Maha Tinggi. Tahap ini juga disebut dengan Tahap Ma’rifat. Dalam situasi seperti inilah dia menemukan puncak mahabbah dengan Allah, puncak kelezatan yang tiada pernah dilihat mata, tiada pernah di dengar telinga, dan tiada pernah terlintas dalam hati sanubari manusia, tidak mungkin disifati atau dinyatakan dengan kata-kata. Pada marhalah ini sebagai puncak segala perjalanan, maka datanglah Nur yang dinamakan Nur Kehadiran.

TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT (C. HAKEKAT)

“Hakikat adalah akhir perjalanan mencapai tujuan, menyaksikan cahaya nan gemerlapan, dari ma’rifatullah yang penuh harapan “.

Begitulah sebuah syair dari Sayyid Abi Bakar Ibnu Muhammad Syatha dalam bukunya yang berjudul “ Misi Suci Para sufi”. Sebuah syair yang menerangkan tentang hakikat yang sesungguhnya yang merupakan perjalanan tujuan akhir dari dua pengalaman yaitu syari’at dan thariqat. Pada anak tangga ketiga inilah tujuan akhir dari perjalanan rohani itu ada, yang sudah barang tentu ketika seorang hamba telah mencapai pada tingkat hakikat ini dia akan menemukan tujuan yang didambakan tersebut yaitu Ma’rifatullah.

Pada tingkat hakikat ini seseorang hamba akan merasakan kebenaran yang sejati dan mutlak, yang masih belum diperolehnya lewat syari’at ataupun thariqat. Memang ada suatu kebenaran dalam syari’at maupun thariqat, tetapi suatu kebenaran tersebut masih belum mencapai puncaknya. Dan kalau dikaji lebih jauh, sebenarnya dalam syari’at itupun ada suatu upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Perlu diketahui bahwa kesemua hukum-hukum atau aturan yang tertuang dalam syari’at itu mempunyai suatu tujuan, yaitu pendekatan kepada-Nya. Tetapi upaya dalam syari’at ini adalah baru pada tahap pertama., dimana tahap berikutnya harus ditempuh dalam jalan thariqat, kemudian setelah kedua tahap ini dilalui maka akan mencapai tingkat hakikat (kebenaran yang hakiki).

Menurut syarah Kitab Al-Hikam, Ibnu Ruslan mengemukakan pendapatnya bahwa yang dimaksudkan dengan Ilmu Hakikat itu adalah suatu Ilmu Laduni yang bersifat nurani. Ilmu tersebut itulah yang telah diajarkan kepada semua roh-roh (dialam roh) sewaktu Tuhan berbicara kepada roh-roh itu “Alastu Birobbikum” (bukankah Aku ini Tuhanmu..?) maka rohpun menjawab : “Balaa Yaa Rabbi” (benar Wahai Tuhanku). Itulah pula yang pernah diajarkan lagi kepada Nabi Adam AS sebagaimana firman-Nya “Wa ‘allama aadamal asmaa’akullaha” (Allah telah ajarkan kepada Adam semua nama-nama). Akan tetapi pengetahuan tersebut tersembunyi karena manusia pada umumnya tercurah perhatiannya kepada keadaan yang gelap yaitu hanya kepada yang lahir semata-mata, lebih mementingkan hawa nafsunya sendiri. Bilamana semua tutupan kegelapan itu telah hilang sirna kemudian menyatalah hakikat itu dengan terang dan jelas. Inilah juga yang dimaksudkan oleh Hadits Rasulullah : “Siapa yang mengamalkan ilmunya, maka Allah akan wariskan kepadanya ilmu yang belum pernah diketahui sebelumnya”. Allah berikan taufiq kepadanya, dihormati oleh segala makhluk dan disediakan baginya surga diakhirat.

Orang-orang yang cinta dengan dunia dan selalu dalam kungkungan hawa nafsunya, tidak akan menemukan kemantapan ilmu ini (hakikat), meskipun dalam ilmu-ilmu lain dia berhasil. Orang yang mengingkari ilmu ini, bagaimanapun juga tidak pula akan bisa merasakan keindahan ilmu ini, dan tidak mungkin mereka bisa mendapatkan “mukasyafah” (terbuka hijab/dinding) sebagaimana yang dialami oleh para Shiddiqin dan Ahlul-Muqarrabiin.

Imam Ghazali memberi gambaran bahwa : “ Syari’at adalah menyembah kepada Allah sedangkan hakikat adalah melihat kepada-Nya “.

Kemudian ditegaskan oleh Imam Al-Qusyairiyah bahwa :

“Syari’at adalah urusan tentang kewajiban-kewajiban peribadatan sedangkan hakikat adalah melihat ketuhanan “.

Thareqat dan hakekat adalah sambung menyambung antara satu sama lain. Oleh karena itu pelaksanaan agama Islam tidak sempurna jika tidak dikerjakan keempat-empatnya yakni ; Syari’at, Thariqat, Hakikat dan Ma’rifat. Maka apabila syari’at merupakan peraturan, thariqat merupakan pelaksanaan, dan hakikat merupakan tujuan pokok yakni pengenalan Tuhan yang sebenar-benarnya. Umpamanya tentang "bersuci/thaharah”, menurut syariat bersih diri dengan air. Menurut thariqat bersih diri lahir dan bathin dari hawa napsu. Menurut Hakikat bersih hati dari selain Allah. Semuanya itu untuk mencapai Ma’rifat kepada Allah dengan sebenar-benarnya Ma’rifat. Dengan contoh lain dapat kita sebutkan ; Menurut syari’at bila seseorang yang akan melaksanakan sholat, wajib menghadap ke kiblat, karena al-Qur’an menyebutkan : “ Hadapkanlah mukamu ke Masjidil Haram ( Ka’bah) di Mekkah”. Menurut thariqat, hati wajib menghadap kepada Allah berdasarkan ayat al-Qur’an yang menyebutkan : Fa’budunii ( sembahlah Aku ). Menurut hakikat, bahwa kita menyembah Allah seolah-olah melihat-Nya. Berdasarkan sebuah hadits yang berbunyi : “ Sembahlah Tuhanmu seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Tuhan pasti melihat kamu “. Selanjutnya menurut Ma’rifat ialah mengenal Allah untuk siapa dipersembahkan segala amal ibadah itu yang dengan khusyu’ seorang hamba dalam sholat merasa berhadapan dengan Allah, ketika itu perasaan bermusyahadah berintai-intaian dan bercakap-cakap dengan Allah seolah-olah Allah berkata : “ Innanii Ana Allah “ Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, maka kehadiran hati berkata : “ Anta Allah “( Engkaulah Allah). Lalu Allah berkata lagi ; “ Aqimish-sholata lizikrii “ ( Bersholatlah untuk mengingat-Ku).

Karena itu seseorang yang sedang dalam bershalat, kemudian tidak ada sama sekali kehadiran hatinya kepada Allah, maka oleh ahli-ahli thariqat dianggap shalatnya itu tidak syah.

Demikianlah apa yang dikatakan “hakikat”, ialah membuka kesempatan bagaimana Salik (orang yang berjalan menuju Allah) mencapai maksudnya, yaitu mengenal Tuhan, Ma’rifatullah dan Musyahadah Nur yang Tajalli. Dalam pada ini Imam Ghazali menerangkan : “Bahwa Tajalli itu ialah terbuka Nur cahaya yang ghaib bagi hati seseorang dan sangat mungkin bahwa yang dimaksudkan dengan tajalli ialah Mutajalli yang tidak lain daripada itulah Allah”.

TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT (B5. Mengenal Wali Songo)

Keberhasilan penyebaran Islam di Jawa tidak lepas dari peran Ulama Sufi yang tergabung dengan Wali Songo. Proses Islamisasi yang dilakukan Wali Songo berlansung pada abad ke-15 (masa kesultanan Demak).

Kata Wali, berarti : pembela, teman dekat, dan pemimpin. Dalam hal ini biasa diartikan sebagai orang yang dekat dengan Allah SWT (Waliyullah). Sedangkan kata Songo (bahasa Jawa) berarti sembilan. Jadi secara umum Wali Songo berarti sembilan Wali yang dianggap telah dekat dengan Allah SWT., yang terus menerus beribadah kepada-Nya, dan memiliki kekeramatan (kemuliaan, keistimewaan, atau keluarbiasaan) dan kemampuan diluar kebiasaan manusia.

Mereka yang tergolong Wali Songo tersebut adalah :

1. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (wapat di Gresik tahun 1441 M). Sebelum datang ke Jawa, ia menetap di Kerajaan Pasai atau Perlak di Aceh. Menurut sumber sejarah, salah seorang raja Kerajaan Campa mempunyai beberapa orang putri. Salah seorang putri itu dijadikan istri Raja Majapahiat, Sri Kertawijaya, yang memerintah Kerajaan Majapahi. Perkawinan itu melahirkan Arya Damar, Adipati Sriwijaya. Putri lain dari Raja Campa itu dikawinkan dengan Maulana Malik Ibrahim, dari hasil perkawinannya itu kemudian melahirkan Raden Rahmat (Sunan Ampel).

2. Sunan Ampel atau Raden Rahmat (lahir di Campa, Aceh tahun 1401 dan wapat di Ampel tahun 1481). Beliau adalah penerus cita-cita dan perjuangan Maulana Malik Ibrahim, dan terkenal sebagai perancang pertama kerajaan Islam di Jawa, dan dialah yang mengangkat Raden Fatah sebagai sultan pertama Demak. Ia memulai aktivitasnya dengan mendirikan pesantren pertama di Jawa Timur, yaitu Pesantren Ampel Denta di dekat Surabaya. Di pesantren inilah Sunan Ampel mendidik para pemuda Islam untuk menjadi da’i yang akan disebar ke seluruh Jawa. Diantara pemuda yang dididiknya antara lain ; Raden Paku yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Giri, Raden Fatah (putra Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit) yang menjadi sultan pertama kesultanan Islam di Bintoro (Demak), Raden Makhdum Ibrahim (putra Sunan Ampel sendiri) yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Bonang, Syarifuddin yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Drajat, Maulana Ishak yang diutus untuk mengislamkan Blambangan.

3. Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim (lahir di Ampel, Surabaya tahun 1465 dan wapat di Tuban tahun 1525). Ia dianggap sebagai pencipta gending pertama untuk mengembangkan Islam di pesisir utara Jawa Timur. Sunan Bonang dan para wali lainnya dalam menyebarkan agama Islam selalu menyesuaikan diri dengan corak dan kebudayaan masyarakat Jawa yang sangat menggemari wayang dan musik gamelan. Syair lagu gamelan ciptaan wali berisi pesan tauhid, sikap menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Setiap bait lagu diselingi syahadatain dan gamelan yang mengiringinya disebut sekaten.

4. Sunan Giri atau Raden Paku atau Sultan Abdul Fakih (lahir di Blambangan pada pertengahan abad ke-15 dan wapat di Giri tahun 1506). Ia adalah putra Maulana Ishak. Salah seorang saudaranya juga termasuk Wali Songo yaitu Raden Abdul Kadir (Sunan Gunung Djati). Dalam perjalanan ibadah haji ke Mekkah Sunan Giri dan Sunan Bonang mampir di Pasai untuk memperdalam pengetahuan keislaman. Ketika itu Pasai menjadi tempat berkembangnya Ilmu Tauhid, Keimanan dan Ilmu Tasawwuf. Disini ia menemukan Ilmu Laduni sehingga gurunya memberi anugerah gelar ‘Ainul Yaqin. Ia banyak mengirim juru dakwah ke luar jawa seperti : Madura, Bawean, Kangean, Ternate, dan Tidore.

Sunan Giri terkenal sebagai lambang pemersatu bangsa Indonesia yang dirintis pada abad ke-15 Masehi. Jika Gajah Mada dipandang sebagai pemersatu bangsa dengan kekuatan meliter dan politiknya, maka Sunan Giri dikenal dengan ilmu dan pengembangan pendidikannya.

5. Sunan Drajat atau Raden Kosim atau Syarifuddin (lahir di Ampel Denta, sekitar tahun 1470 dan wapat di Sedayu Gresik pada pertengahan abad ke-16). Hal paling menonjol dalam dakwah Sunan Drajat adalah perhatiannya yang sangat serius pada masalah-masalah sosial sehingga ia dikenal berjiwa sosial. Ia juga dikenal sebagai pencipta tembang Jawa, yaitu tembang Pangkur yang hingga sekarang masih banyak digemari masyarakat.

Pemikiran kesufian Sunan Drajat yang menonjol adalah upaya menyadarkan manusia dari ambisi jabatan dan kedudukan yang akan mendorong manusia untuk menikmati dunia dengan pola hidup berfoya-foya dan memuaskan nafsu perut. Ia berpendapat, perut adalah sumber segala syahwat dan penyakit jasmani dan rohani. Jika perut diisi makanan dan minuman enak, timbulah nafsu serakah, yang kemudian timbullah nafsu-nafsu yang lain, seperti ; syahwat kelamin, permabukan, perjudian, dan lain-lain.

Karena pola hidup mewah harus dicapai dengan jalan menguasai pangkat dan kedudukan, maka orang berlomba mengejar pangkat dan kedudukan meskipun dengan jalan kezholiman, kecurangan dalan politk dan makar. Untuk itulah Sunan Drajat selalu menyuruh santrinya agar memelihara perutnya; makan dan minum sekedar yang dibutuhkan bagi kesehatan jasmani dan rohani dan tidak berlebihan. Makan dan minum tidak sembarangan tetapi yang suci dan halal agar zat-zat darah yang terbentuk darinya menjadi bersih untuk perbuatan anggota badan sehingga menumbuhkan kejernihan berfikir. Diingatkannya, bahwa perut yang kenyang dapat menjadi sumber segala penyakit dan menyebabkan otak menjadi tumpul, malas berfikir, dan malas menjalankan ibadah kepada Allah.

Kepada pembesar negara, Sunan Drajat menasihati mereka agar selalu memperhatikan kesejahteraan rakyat.

6. Sunan Kalijaga atau Raden Mas Syahid (lahir akhir abad ke-14 dan wafat pada pertengahan abad ke-15). Beliau terkenal sebagai wali yang berjiwa besar, berwawasan luas, berpikiran tajam dan intelek, dan berasal dari suku Jawa asli. Daerah operasi dakwah Sunan Kalijaga tidak terbatas, bahkan sebagai muballigh ia berkeliling dari satu daerah ke daerah yang lain. Karena dakwahnya yang intelek para bangsawan dan cendikiawan sangat simpati kepadanya, termasuk lapisan masyarakat awam dan penguasa. Dalam melaksanakan pemerintahan Demak, Raden Fatah sangat menghargai nasihat-nasihat Sunan Kalijaga. Ia juga sangat berjasa dalam perkembangan wayang purwa atau wayang kulit yang bercorak islami. Ia juga berjasa dalam membuat corak batik bermotif burung (kukula). Kata tersebut ditulis dalam bahasa Arab menjadi qu dan qila, yang berarti “Peliharalah ucapanmu sebaik-baiknya”.

Pemikiran kesufian yang ditampilkan Sunan Kalijaga adalah tentang konsep zuhud. Pemikiran zuhud-nya bermula dari upaya membangun kesadaran masyarakat pada arti bekerja dan beramal. Orang harus bekerja apa saja asalkan layak bagi martabat manusia. Bekerja untuk memperoleh makanan yang halal dan pantas untuk diri dan keluarganya. Manusia berupaya keras untuk memperoleh kekayaan, tetapi tetap diingatkan agar tidak hidup mewah dan royal terhadap harta. Harta kekayaan yang dimiliki sesungguhnya untuk menunaikan kewajiban zakat, haji, sosial, dan ibadah lainnya.

Mencari harta dan kekayaan tidak boleh menggunakan jalan tercela dan serakah. Oleh sebab itu, sekalipun harta dunia ini penting, tetapi harus diperoleh dengan cara yang halal dan menjuhi cara yang haram, bahkan syubhat. Dibanding dengan keutamaan akhirat maka dunia macam apapun sesungguhnya sangat kecil. Itulah arti sikap zuhud yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga.

7. Sunan Kudus atau Ja’far Sadiq (lahir di Kudus pada abad ke-15 dan wafat tahun 1550). Menurut silsilahnya, Sunan Kudus atau Ja’far Sadiq masih mempunyai hubungan keturunan dengan Nabi Muhammad SAW. Silsilah lengkapnya adalah Ja’far Sadiq bin Raden Usman Haji bin Raja Pendeta bin Ibrahim as-Samarkandi bin Maulana Muhammad Jumadilkubra bin Zaini al-Husein bin Zaini al-Kubra bin Zainul Alim bin Zainal Abidin bin Sayyid Husein bin Ali ra. Diantara para Wali Songo, Sunan Kudus mendapat julukan wali al-‘ilmi (orang yang luas ilmunya). Oleh karena itu, ia didatangi oleh banyak penuntut ilmu dari berbagai daerah di Nusantara. Ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia juga pernah menciptakan berbagai cerita keagamaan dan yang paling terkenal adalah Gending Maskumambang dan Mijil.

8. Sunan Muria atau Raden Umar Said atau Raden Prawoto (lahir abad ke-15). Ia adalah putra Sunan Kalijaga dan berjasa menyiarkan Islam di pedesaan-pedesaan pulau Jawa. Dijuluki Sunan Muria karena pusat kegiatan dakwahnya dan makamnya di Gunung Muria. Dalam rangka berdakwah melalui budaya ia menciptakan tembang dakwah Sinom dan Kinanti.

Sunan Muria mencerminkan seorang sufi yang zuhud, yang memandang sangat kecil pada dunia ini. Oleh sebab itu, ia tidak silau terhadapnya. Tugasnya sehari-hari adalah mengasuh dan mendidik para santri yang ingin menyelami ilmu tasawwuf, didampingi oleh putranya Raden Santri. Seperti halnya sufi-sufi yang lain, Sunan Muria mencermin kan pribadi yang menempatkan rasa cintanya kepada Allah diatas segala-galanya. Sepanjang hidupnya dihabiskan untuk beribadah kepada Allah SWT. Ia melihat sekeliling dengan empat mata; dua mata di kepala untuk melihat dunia di sekitarnya dan dua mata di hatinya untuk melihat kebenaran dan kemuliaan. Cahaya pandangnya senantiasa jauh menembus ke alam yang tak terjangkau oleh akal pikiran. Ia selalu memohon kepada Allah : “Ya Tuhan, beri aku cahaya dan tambahkan cahaya itu. Beri aku cahaya di hati, telinga, mata, rambut, daging, dan tulang, bahkan disetiap butiran darah dan sel-sel syaraf sekalipun”.

Sunan Muria menumpahkan ibadahnya dengan bermunajat kepada Allah SWT. Dia juga mengajarkan tata krama dzikir kepada kepada Allah. Dibawah bimbingannya orang-orang membenamkan dirinya untuk berdzikir kepada Allah. Hatinya senantiasa ingat kepada Allah, dan lisannya tak pernah kering mengucapkan kalimah Laa ilaaha illallah . Tangannya tak henti-hentinya menghitung butiran-butiran tasbih, terkadang diiringi goyangan badannya dari kanan ke kiri sebanyak hitungan dzikir yang dilisankan dengan suara pelan dan syahdu.

Sunan Muria bersama santrinya mengisi hari-hari senggang nya di Tanjung Jepara yang terpencil dari keramaian duniawi untuk berdzikir dan berdo’a.

9. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah (lahir di Mekkah tahun 1448 dan wapat di Gunung Jati, Cirebon Jawa Barat). Ia banyak berjasa menyebarkan Islam di Pulau Jawa, terutama di Jawa Barat. Ia adalah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan Banten. Sunan Gunung Jati adalah cucu Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi. Dari perkawinan Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang, lahirlah Raden Walangsung sang, Nyai Lara Santang, dan Raja Sengara. Dari Nyai Lara Santang lahirlah Syarif Hidayatullah. Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan agama Islam kedaerah lain di Jawa Barat seperti ; Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa dan Banten. Ia meletakkan dasar pengembangan Islam dan perdagangan orang-orang Islam di Banten tahun 1525 atau 1526. Ketika kembali ke Cirebon, Banten diserahkan kepada anaknya, Sultan Maulana Hasanuddin yang kemudian menurunkan raja-raja Banten. Sunan Gunung Jati mendapat penghormatan dari raja-raja lain di Jawa, seperti Demak dan Pajang, ia diberi gelar Raja Pandita karena kedudukannya sebagai raja dan ulama.

TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT (B4. Rukun, Ajaran, Prinsip Dan Hasil Thariqat)

Didalam kitab yang berjudul ‘Awaarif al-Ma’aarif karya Syeikh Syihabuddin Umar Suhrawardi dijelaskan bahwa thariqat mempunyai berbagai rukun, ajaran, prinsip dan hasil, diantaranya :

1) Rukun-rukun thariqat adalah : Tobat, Kepasrahan (taslim), Kesetiaan pada thariqat (diyaanat), Kerendahan hati dan Ketundukan jasmani (khusyu’ wa khudhu’), Keridhoan (ridho), Kemenyendirian (khalwat).

2) Ajaran-ajaran thariqat adalah : Ilmu (‘ilm), Keder mawanan (sakhaawat), Kedekatan kepada Allah (qurb), Agama (addiin), Meditasi atau renungan (tafakkur), Ketawakalan kepada Allah (tawakkal),.

3) Prinsip-prinsip thariqat adalah : Kebajikan (ihsan), Mengingat Allah (dzikr), Meninggalkan kemaksiatan (tark ma’ashi), Meninggalkan dunia (tark dun-ya), Takut kepada Allah (khaufullah), Cinta kepada Allah (hubbullah).

4) Hasil–hasil thariqat adalah : Pengetahuan Ilahi (ma’rifah), Kelembutan hati (hilm), Kesabaran (shabr), Ketaatan (tha’ah), Tata krama (adab), Ketulusan (shauq).

TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT (B3. Beberapa Nama-Nama Thariqat dan Pengaruhnya)

Pada masa permulaan Islam hanya terdapat dua macam thariqat, yaitu :

1) Thariqat Nabawiah, yaitu amalan yang berlaku di masa Rasulullah SAW, yang dilaksanakan secara murni dan langsung dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Thariqat ini dinamakan juga dengan “Thariqat Muhammadiah”.

2) Thariqat Salafiah, yaitu cara beramal dan beribadah pada masa Sahabat dan Tabi’in, dengan maksud memelihara dan membina Syari’at Rasulullah SAW. Dinamakan juga “Thariqat Salafus Saleh”.

Kemudian sesudah abad ke-2 H, thariqat Salafiah mulai berkembang secara kurang murni. Ketidak murniannya itu antara lain disebabkan pengaruh filsafat dan alam pikiran manusia telah memasuki negara-negara Arab, seperti filsafat Yunani, India dan Tiongkok, sehingga pengamalan thariqat Nabawiah dan Salafiah telah bercampur aduk dengan filsafat.

Sejumlah kitab-kitab filsafat asing di salin dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Sesudah abad ke-2 H itu juga muncullah thariqat Sufiah yang diamalkan oleh orang-orang Sufi, dengan melalui empat tingkat atau tahapan yaitu Syariat, Thareqat, Hakikat, Ma’rifat.

Orang Sufi menganggap bahwa Syari’at untuk memperbaiki sesuatu yang lahir (nyata). Thariqat untuk memperbaiki sesuatu yang tersembunyi (batin), dan Hakikat untuk memperbaiki segala rahasia yang ghaib-ghaib.

Tujuan terakhir dari perjalanan ahli Sufi ialah ma’rifat, yakni mengenal hakikat Allah, Dzat, Sifat, dan perbuatan-Nya.

Orang yang telah sampai ke tingkat ma’rifat, dinamakan Wali, dan biasanya Allah karuniakan kepadanya kemampuan luar biasa (khariqul-lil’adah) yang disebut “keramat”. Terjadi pada dirinya hal-hal luar biasa yang tidak terjangkau oleh akal manusia, baik di masa hayatnya maupun sesudah matinya.

Gerakan thariqat baru menonjol dalam dunia Islam pada abad ke XII M, sebagai lanjutan dari kegiatan kaum Sufi terdahulu.

Kenyataan ini dapat ditandai dengan setiap silsilah thariqat selalu dihubungkan dengan nama pendirinya dan tokoh-tokoh Sufi lainnya.

Setiap thariqat mempunyai Syeikh, kaifiat dzikir dan upacara rituil. Biasanya Syeikh atau Mursyid mengajar murid-muridnya di asrama latihan rohani yang dinamakan “rumah suluk” atau “ribath”.

Mula-mula berkembang di Baghdad, Irak, Turki,Arab Saudi selanjutnya merambah ke Asia Tengah, Tibristan, kemudian sampai ke Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, India dan Tiongkok.

Kemudian pada abad ke XII itu muncul pula thariqat Rifa’iah di Maroko dan Aljazair, thariqat Sahrawadiah dan lainnya yang berkembang di Afrika Utara dan Afrika Tengah, seperti di Sudan dan Nigeria.

Perkembangan itu begitu cepat melalui murid-murid yang telah diangkat menjadi Khalifah, mengajarkannya dan menyebarluaskannya ke negeri-negeri Islam. Dan ada pula melalui pedagang-pedagang.

Organisasi thariqat pernah mempunyai pengaruh yang sangat besar di dunia Islam, sebagaimana dikatakan H. R. Gibb dalam “An Interpretation of Islamic History”, bahwa sesudah direbutnya Khalifah oleh orang-orang Mongol pada tahun 1258 H, maka tugas untuk memelihara kesatuan masyarakat Islam beralih ke tangan kaum Sufi.

Peranan ahli thariqat dalam percaturan politik di Turki pada masa pemerintahan Ottoman I (1299 – 1326 M) cukup besar. Demikian pula di Sudan, Afrika Utara dan Afrika Tengah, Tunisia dan di negeri kita Indonesia tempo dulu ahli thariqat memegang peranan penting dalam perjuangan melawan penjajahan Barat.

Dalam proses Islamisasi Indonesia, sebagian adalah atas usaha dari kaum Sufi dan mistik Islam. Sehingga pada waktu itu pemimpin-pemimpin agama Islam di Indonesia bukanlah ahli-ahli Teology (Mutakallimin) dan ahli hukum (Fuqaha’), melainkan mereka adalah para syeikh-syeikh thariqat dan guru-guru suluk.

Salah seorang pemuka Thariqat Naqsyabandiah yang telah berjasa besar bagi perjuangan bangsa untuk merebut kemerdekaan, adalah Syeikh Abdul Wahab Rokan Al-Khalidi Naqsyabandi Al-Indonesi (1811 – 1926) yang terkenal dengan panggilan “Tuan Guru Babussalam Langkat”; melengkapi namanya dengan “Rokan” karena ia berasal dari daerah Rokan Kabupaten Kampar Propinsi Riau; dinamakan dengan “Al-Khalidi” karena ia menganut thariqat priode Syeikh Khalid sampai pada masanya; dan dinamainya pula dengan “Naqsyabandi” karena ia menganut thariqat yang ajaran dasarnya berasal dari Syeikh Bahauddin Naqsyabandi. Pusaranya berada di desa Babussalam Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara.

Ia adalah murid dari Syeikh Sulaiman Zuhdi dan belajar kepadanya selama 6 tahun di Mekkah. Sekembalinya ke tanah air, ia aktif mengajar agama dan thariqat di beberapa kerajaan, seperti wilayah kerajaan Langkat, Deli Serdang, Asahan Kualuh, Panai di Sumatera Utara, dan Siak Sri Indra Pura, Bengkalis, Tembusai, Tanah Putih Kubu di Propinsi Riau.

Sampai kini murid-muridnya tersebar luas di Propinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan. Khalifah-khalifah beliau yang giat mengembangkan thariqat Naqsyabandiah di luar negeri, telah berhasil mendirikan rumah-rumah suluk dan peribadatan, di Batu Pahat, Johor, Pulau Pinang, Ipoh, Kelantan dan Thailand.

Di bawah ini beberapa nama-nama Thariqat dan pendirinya antara lain :

1) Thariqat Qadiriah didirikan oleh Syeikh Abdul Qadir Jailani Al-Baghdadi. Thariqat ini salah satu thariqat sufiah yang paling giat menyebarkan agama Islam di Barat Afrika. Memiliki lima ajaran pokok dan memegang prinsip tasamuh (toleransi), karena Syeikh Abdul Qadir menegaskan kepada pengikutnya : “Kita tidak hanya mengajak diri sendiri tetapi juga mengajak semua makhluk Allah supaya menjadi seperti kita”. Adapun lima ajaran pokoknya adalah :

- Tinggi cita-cita,

- Memelihara kehormatan,

- Memperbaiki khidmat terhadap Allah,

- Melaksanakan tujuan yang baik,

- Memperbesarkan arti karunia nikmat Allah SWT,

Barang siapa yang tinggi cita-citanya, menjadi tinggilah martabatnya. Barangsiapa yang memeliharra kehormatan Allah, maka Allah akan memelihara kehormatannya. Barangsiapa yang memperbaiki khidmat, kepadanya wajib menerima rahmat. Barangsiapa yang berusaha mencapai tujuannya, makan selalu memperoleh hidayah. Barangsiapa membersarkan nikmat Allah dalam arti senantiasa bersyukur kepada-Nya, maka akan memperoleh tambahan nikmat yang dijanjijan Allah SWT.

Salah satu ucapan Syeikh Abdul Qadir Al-Jalani yang sangat berharga : “Jika terdapat dalam hatimu benci atau suka kepada seseorang, maka kembalikanlah amalnya kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika amalnya disukai al-Qur’an dan as-Sunnah, maka kasihilah ia. Sebaliknya jika dibenci oleh al-Qur’an dan as-Sunnah maka bencilah dia, supaya anda tidak mengasihinya dengan hawa nafsu”.

Pengikut thariqat Qadiriah terbagai tiga :

1. Al-Qadiriah Al-Bukaiyah, tersebar luas di wilayah Tombouctou sebuah negeri di Sudan (Afrika Tengah), pusat perdagangan Sungai Negeria.

2. Al-Qadiriah, di wilayah padang pasir sebelah Barat yang dinamakan dengan “Ad-Dirar”.

3. Al-Qadiriah Al-Walatih, tersebar di wilayah Sudan Bagian Barat.

2) Thariqat Syadziliah didirikan oleh Syeikh Abu Hasan bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Hormuz As-Syadzili Al-Maghribi Al-Husaini Al-Idrisi.

Pokok-pokok yang mendasari ajaran thariqat ini adalah antara lain :

* Taqwa kepada Allah lahir dan batin baik dalam keadaan sendiri ataupun dimuka umum,
* Mengikuti sunnah dalam perkataan dan perbuatan,
* Mengabaikan semua makhluk dalam keadaan disukai atau dibenci mereka (yakni:tidak menghiraukan apakah mereka suka atau benci),
* Ridho dengan pemberian Allah baik sedikit atau banyak,
* Kembali kepada Allah pada waktu susah dan senang.

Menurut thariqat ini pelaksanaan taqwa dilakukan dengan wara’ (menjauhi dari semua yang makruh, syubhat dan haram) dan istiqomah dalam mentaati semua perintah, pelaksanaan sunnah dengan penelitian amal dan perbaikan budi pekerti, pelaksanaan tidak hirau dengan makhluk dengan sabar dan tawakkal (berserah diri kepada Allah), pelaksanaan ridho terhadap pemberian Tuhan dengan hidup sederhana dan merasa puas dengan apa yang ada (Qana’ah), dan pelaksanaan kembali kepada Allah dengan bersyukur dalam suka dan berlindung kepada-Nya dalam duka.

Dan kesemuanya ini berpokok pada lima hal yaitu : semangat yang tinggi, berhati-hati dari yang haram atau menjaga kehormatan, baik dalam berkhidmat sebagai hamba, melaksanakan kewajiban, dan menghargai (menjunjung tinggi) ni’mat.

Maka siapa yang tinggi semangat pasti naik tingkat derajatnya. Dan siapa yang meninggalkan larangan yang diharamkan Allah, maka Allah akan menjaga kehormatannya. Dan siapa yang benar dalam ta’atnya, pasti mencapai tujuan kebesaran-Nya/kemulyaan-Nya. Dan siapa yang melaksanakan tugas kewajiban nya dengan baik, maka bahagia hidupnya. Dan siapa yang menjunjung ni’mat, berarti mensyukuri dan selalu akan menerima tambahan ni’mat yang lebih besar.

Salah satu ucapan yang sangat berharga dari Syeikh Abu Hasan asy-Syadzili, adalah : “ Apabila dzikir terasa berat atas lidahmu, anggota tubuh berkembang menurutkan hawa nafsumu, tertutup pintu berfikir untuk kemaslahatan hidupmu, maka ketahuilah bahwa semua itu adalah pertanda banyaknya dosamu atau karena sifat munafiq tumbuh dalam hatimu. Tiada jalan bagimu selain dari berpegang teguh kepada jalan Allah dan ikhlas dalam pengamalannya”.

3) Thariqat Naqsyabandiah didirikan oleh Syeikh Bahauddin Syah Naqsyabandiah.

Prinsip-prinsip dari ajaran thareqat ini diantaranya :

* Memegang teguh I’tiqad Ahlus Sunnah,
* Meninggalkan rukhsah membiasakan kesungguhan,
* Senantiasa bermuraqabah,
* Meninggalkan kebimbangan dunia dari selain Allah, Hudur (hadir) terhadap Tuhan,
* Mengisi diri (tahalli) dengan segala sifat-sifat yang berfaedah dan ilmu agama,
* Mengikhlaskan dzikir,
* Menghindarkan kealpaan terhadap Tuhan,
* Berakhlak dengan akhlak Nabi Muhammad SAW. Sedang syarat-syaratnya diatur sebagai berikut : I’tiqad yang sah, taubat yang benar, menunaikan hak orang lain, memperbaiki kezholiman, mengalah dalam perselisihan, teliti dalam adab dan sunnah, memilih amal menurut syari’at yang sah, menjauhkan diri daripada segala yang munkar dan bid’ah, dari pada pengaruh hawa nafsu dan daripada perbuatan yang tercela.

Didalam kitab Hakikat Thariqat Naqsyabandiah oleh H.A. Fuad said dijelaskan bahwa : Thariqat Naqsyaban diah, mempunyai ajaran dasar yang didasarkan atas amal perbuatan yang terdiri dari sebelas perkataan dari bahasa Persi; delapan berasal dari Syeikh Abdul Khalik Al-Ghajudwani dan tiga dari Syeikh Bahauddin Naksyaban diyah sendiri.

Adapun maksud yang delapan perkataan itu adalah ;

1. Huwasy dardan, ialah memelihara keluar masuknya napas dari pada kealpaan kepada Tuhan, sehingga hati itu selalu hadir dan ingat kepada-Nya. Sebab setiap keluar masuk napas yang hadir dan ingat kepada-Nya itu berarti hidup yang dapat menyampaikan kepada Allah. Sebaliknya setiap napas yang keluar masuk dengan alpa berarti mati yang menghambat jalan kepada Allah.

2. Nazhar barqadam, ialah orang yang sedang menjalani khalwat suluk, bila berjalan harus menundukkan kepala, melihat kearah kaki. Dan apabila duduk tidak memandang kekiri dan kekanan. Sebab memandang kepada aneka ragam ukiran dan warna dapat melalaikan orang dari mengingat Allah. Apalagi orang yang baru berada ditingkat permulaan, karena belum mampu memelihara hatinya.

3. Safar darwathan, ialah berpindah dari sifat-sifat manusia yang rendah kepada sifat-sifat malaikat yang tinggi.

4. Khalwat dar anjaman, ialah berkhalwat. Dan berkhalwat itu terbagi dua ;

a. Khalwat lahir, yakni orang yang bersuluk mengasingkan diri kesebuah tempat tersisih dari masyarakat ramai.

b. Khalwat batin, yakni mata hati menyaksikan rahasia kebesaran Allah dalam pergaulan sesama makhluk.

5. Ya dakrad, ialah berdzikir terus menerus mengingat Allah, baik dzikir ismuzat (menyebut Allah, Allah), maupun dzikir nafi itsbat (laa ilaaha illallah), sampai yang disebut dalam dzikir itu hadir.

6. Baz kasyat, ialah sesudah menghela (melepaskan) napas orang yang berdzikir itu kembali munajat dengan mengucap kalimat yang mulia “Ilaahi anta maqshuudi waridhooka mathluubii” (Tuhanku, Engkaulah yang aku maksud dan keridhoan Engkaulah yang aku cari). Sehingga terasa dalam qalbunya rahasia tauhid yang hakiki dan semua makhluk lenyap dari pandangannya.

7. Nakah dasyat, ialah setiap murid harus menjaga hatinya dari sesuatu yang melintas walau sekejap, karena lintasan atau getaran qalbu dikalangan ahli-ahli thariqat adalah suatu perkara besar.

8. Bad dasyat, ialah tawajjuh (menghadapkan diri) kepada Nur Zat Allah Yang Maha Esa, tanpa berkata-kata. Pada hakikatnya menghadapkan diri dan mencurahkan perhatian kepada Nur Zat Allah itu tiada lurus kecuali sesudah fana yang sempurna.

Kemudian tiga perkara yang berasal dari Syeikh Bahauddin Naqsyabandiah diantaranya adalah ;

1. Wuquf zamani, yaitu orang yang bersuluk memperhatikan keadaan dirinya setiap dua atau tiga jam sekali. Apabila ternyata keadaannya hadir beserta Allah, maka hendaklah ia bersyukur kepada-Nya. Kemudian ia mulai lagi dengan hadir hati yang lebih sempurna. Sebaliknya apabila keadaannya dalan alpa atau lalai, maka harus segera minta ampun dan tobat, serta hadir kepada kehadiran hati yang sempurna.

2. Wukuf ‘adadi, ialah memelihara bilangan ganjil pada dzikir nafi itsbat ; 3 atau 5 sampai 21.

3. Wukuf qalbi, ialah kehadiran hati serta kebenaran Allah, tiada tersisa dalam hatinya sesuatu maksud selain kebenaran Allah dan tiada menyimpang dari makna dan pengertian dzikir. Lebih jauh dikatakan bahwa hati orang yang berdzikir itu berhenti (wukuf) menghadap Allah dan bergumul dengan lafaz-lafaz dan makna dzikir.


4) Thariqat Tijaniah didirikan oleh Sayid Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar bin Ahmad Syarif At-Tijani.

Thariqat Tijaniah menganut prinsip tasamuh atau toleransi, menurut jejak pendirinya yang bersikap toleransi terhadap kalangan bukan muslim, dengan tidak mengurangi hak-hak agama dan kehormatan kaum Muslimin.

Dasar pokok dari thariqat ini adalah toleransi dengan baik menghadapi orang yang memusuhi mereka.

5) Thariqat Sanusiah didirikan oleh Sayid Muhammad bin Ali As-Sanusi.

Dasar thariqat ini adalah ajaran Islam dan lapangan kerjanya mendidik umat supaya dapat mengendalikan hawa nafsu untuk keselamatannya dari dunia sampai akhirat. Dan melatih pengikutnya supaya giat bekerja dan berusaha serta beribadat dengan memiliki akidah yang kokoh. Thariqat Sanusiah juga mengajarkan kepada pengikut-pengikutnya ketangkasan berkuda, memanah dan berbagai seni bela diri. Selain itu melatih kerajinan tangan seperti ; pandai besi, tukang sepatu, menjahit dan menenun, bertani dan bercocok tanam.

Pesan sebagian dari tokoh-tokoh Thariqat Sanusiah : “Jangan menghina seseorang, baik orang Islam maupun Nasrani, Yahudi dan orang-orang kafir lainnya. Mungkin mereka lebih baik dari anda disisi Allah, sebab anda tidak tahu apa yang akan terjadi pada akhirnya”.

Selain thariqat-thariqat tersebut diatas masih banyak lagi thariqat-thariqat yang lain diantaranya :

6)Thariqat Rifa’iah didirikan oleh Syeikh Ahmad bin Abu al-Hasan Ar-Rifa’i.

7)Thariqat Sahrawardiah didirikan oleh Syeikh Abu al-Hasan bin Al-Sahrawardi.

8)Thariqat Ahmadiah didirikan oleh Syeikh Ahmad Badawi.

9)Thariqat Maulawiah didirikan oleh Syeikh Maulana Jalaluddin Ar-Rumi.

10) Thariqat Haddadiah didirikan oleh Syeikh Abdullah Ba’lawi Haddad.

11)Thariqat Ghazaliah didirikan oleh Syeikh Hujjatul Islam Abu Hamid Ath-Thausi Al-Ghazali (Imam Ghazali).

12)Dan lain-lain, yang jumlahnya lebih dari empat puluh thariqat yang ada didunia ini dan diakui oleh ulama-ulama Sufi (Ulama Thariqat).

Thariqat yang paling banyak penganutnya di Indonesia adalah Thariqat Qadiriah dan Thariqat Naqsyabandiah, atau Thariqat Qadiriah Naqsyabandi ( Syeikh Ahmad Khatib Abdul Ghafar as-Sambasi al-Jawi ).

Sedangkan inti dari ajaran thariqat adalah “dzikrullah” yang kaifiat atau cara-caranya diatur oleh masing-masing Mursyid dari thariqat tersebut.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa sebuah gerakan thariqat dipimpin oleh seorang pemimpin yang sering disebut sebagai Mursyid atau Syeikh. Tidak sembarang orang bisa menjadi pemimpin gerakan thariqat, karena sebuah thariqat adalah sebuah jalan menuju pendekatan kepada Allah yaitu jalan yang mulia dan tidak main-main. Bila diibaratkan seorang pemimpin thariqat sebagai seorang supir, maka dia sesungguhnya tidak hanya bertanggung jawab untuk menyelamatkan para penumpangnya dari kecelakaan dijalan raya saja, tetapi lebih berat dari itu adalah menyelamatkan para pengikutnya dari kesesatan jalan yang akan membuat sengsara kelak dikemudian hari.

Bagi seseorang yang ingin masuk dalam anggota kelompok thariqat, langkah awal yang harus ditempuh adalah mengikat dan mengikrarkan sebuah janji setia kepada Mursyidnya, janji itu disebut dengan Bai’at/Pengukuhan. Dalam kesempatan itulah sang mursyid menyampaikan amalan-amalan atau dzikir-dzikir yang menjadi pedoman bagi murid untuk berjalan menuju Allah SWT.

Secara khusus, aliran-aliran thariqat, sebenarnya mempunyai tujuan yang sama, yang intinya adalah sebagai berikut :

1. Dengan mengamalkan thariqat berarti mengadakan latihan jiwa (riyadhah) dan berjuang melawan hawa nafsu (mujahadah), membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela dan diisi dengan sifat-sifat terpuji dengan melalui perbaikan budi pekerti dalam berbagai seginya.

2. Selalu dapat mewujudkan rasa ingat kepada Allah, Zat Yang Maha Besar dan Kuasa atas segalanya dengan melalui jalan wirid dan dzikir dibarengi dengan tafakkur yang secara terus menerus dikerjakan.

3. Dari sini timbul perasaan takut kepada Allah sehingga timbul pula dalam diri seseorang itu suatu usaha untuk

menghindarkan diri dari segala macam pengaruh duniawi yang dapat menyebabkan lupa dengan Allah.

4. Jika semua itu dapat dilakukan dengan penuh ikhlas dan ketaatan kepada Allah, maka tidak mustahil akan dapat dicapai suatu tingkat alam ma’rifat, sehingga dapat pula diketahui segala rahasia dibalik tabir Cahaya Allah dan Rasul-Nya secara terang benderang.

5. Akhirnya dapat diperoleh apa yang sebenarnya menjadi tujuan hidup ini.

TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT (B2. Thariqat Menurut Kalangan Sufi)

Adapun “thariqat” menurut istilah ulama Tasawwuf diantaranya sebagai berikut :

a. “Thariqat”adalah suatu jalan untuk menuju kepada Allah dengan mengamalkan ilmu Tauhid, Fikih, dan Tasawwuf.

b. “Thariqat”adalah cara atau kaifiat mengerjakan sesuatu amalan untuk mencapai sesuatu tujuan.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas baik menurut bahasa ataupun menurut istilah ulama Sufi, maka jelaslah bahwa thariqat adalah suatu jalan atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan mengamalkan ilmu Tauhid, Fikih dan Tasawwuf.

Atau thariqat ialah suatu sistem (metode) untuk menempuh jalan yang pada akhirnya mengenal dan merasakan adanya Tuhan, dalam keadaan mana seseorang dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya (ainul bashirah).

Sebagaimana pertanyaan Ali bin Abi Thalib ra. kepada Rasulullah SAW : “Manakah thariqat yang sedekat-dekatnya mencapai Tuhan ? dijawab oleh Rasulullah SAW : Tidak lain daripada dzikir kepada Allah (dzikrullah).”

Oleh karena thariqat adalah merupakan jalan atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka didalam thariqat sebenarnya berisikan tentang riyadhah-riyadhah atau amalan-amalan yang harus dikerjakan dan bukan berisikan tentang ajaran yang mengkaji secara falsafi tentang tasawwuf.

Namun demikian suatu thariqat yang diakui syah oleh ulama harus mempunyai lima dasar ; pertama, menuntut ilmu untuk dilaksanakan sebagai perintah Tuhan; kedua, mendapingi guru dan teman sethariqat untuk meneladani; ketiga, meninggalkan rukhsah dan ta’wil untuk kesungguhan; keempat, mengisi waktu-waktu dengan do’a dan wirid; dan kelima, mengekang hawa nafsu daripada berniat salah dan untuk keselamatan. Begitulah yang dijelaskan oleh Prof. H.Aboe Bakar Aceh dalam kitabnya yang berjudul “Pengantar Ilmu Thariqat”. Selain itu tentunya suatu thariqat harus mengacu kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, atau dengan kata lain harus tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.

TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT (B1. Pengertian Thariqat)

Di dalam kitab “Hakikat Thariqat Naqsyabandiah” yang disusun oleh H.A. Fuad Said dijelaskan Thariqat menurut bahasa artinya “jalan (way)”, “cara (methode)”,”suatu sistem kepercayaan (system of belief)”, “garis”, “kedudukan”, dan “agama”.

Kata “thariqat” disebutkan Allah dalam Al-Qur’an sebanyak 9 (sembilan) kali, dengan mengandung beberapa arti ,diantaranya sebagai berikut :

1) Q.S. An-Nisa’ 168 :

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan kepada mereka.”

2) Q.S. An-Nisa’ 169 :

“Kecuali jalan ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”

3) Q.S. Thaha 63 :

“Mereka berkata: "Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kamu dari negeri kamu dengan sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukan kamu yang utama.”

Ayat ini menerangkan kedatangan Nabi Musa as dan Harun ke Mesir, akan menggantikan bani Israil sebagai penguasa di Mesir. Sebagian ahli tafsir mengartikan “thariqat” dalam ayat ini dengan “keyakinan” (agama). Menurut Ibnu Manzhur (630-711 H) dalam kitabnya “Lisanul Arab” jilid 12 , arti “thariqat” dalam ayat itu adalah “ar-rijalul asyraf” bermakna “tokoh-tokoh terkemuka”.

Jadi ayat itu berarti, kedatangan Nabi Musa as dan Harun as ke Mesir adalah untuk mengusir kamu dengan sihirnya dan hendak melenyapkan jamaah atau tokoh-tokoh terkemuka kamu.

Lebih jauh Ibnu Manzhur menyatakan “hadza thariqatu qaumihi” artinya “inilah tokoh-tokoh pilihan kaumnya”.

Al-Akhfasy menyatakan “bithariqatikumul mustla” artinya “dengan sunnah dan agama kamu yang tinggi.”

“Thariqat berarti juga “al-khaththu fis-syai-i” artinya “garis pada sesuatu”.

“Thariqatul baidhi” artinya “garis-garis yang terdapat pada telur.”

“Thariqatul romal” artinya “sesuatu yang memanjang dari pasir – ma imtadda minhu.”

“Al-Laits menyatakan “thariqat” ialah “tiap garis di atas tanah, atau jenis pakaian, atau pakaian yang koyak-koyak.

Menurut Tafsir “Al-Jamal” juz 3, “bithariqatikumul mutsla” dalam Surat Thoha ayat 63 diatas , artinya “biasyrafikum” bermakna “dengan orang terkemuka kamu”. Kata “Thariqat” itu dipergunakan untuk tokoh-tokoh terkemuka, karena mereka itu menjadi ikutan dan panutan orang banyak, sebagaimana diartikan juga oleh Abu As-Su’ud.

Dalam “Mukhtarus Shihhah”, disebutkan wathariqatul qaumi ialah amatsiluhum dan jiaduhum artinya orang-orang besar dan terbaik di antara mereka.

“At-Thariqatu” diartikan juga “syariful qaumi” bermakna tokoh terhormat sesuatu kaum.

Didalam Tafsir Ibnu Katsir juz 3 dijelaskan bahwa kalimat “bi thariqatikumul mutsla” itu dengan “wa hia assihru, artinya adalah sihir.”

Ibnu Abbas r.a mengartikannya dengan “kerajaan yang mana mereka berdomisili dan mencari kehidupan di dalamnya.”

As-Sya’bi menafsirkannya dengan “Harun dan Musa memalingkan perhatian orang banyak kepada mereka.”

Mujahid mengartikannya dengan “orang-orang terkemuka, cerdas dan lanjut usia di antara mereka.”

Abu Shaleh mengartikannya dengan “orang-orang mulia di antara kamu.”

Ikrimah mengartikannya dengan “orang-orang terbaik di antara kamu.”

Qatadah menyatakan “bithariqatikumul mutsla” mereka pada masa itu adalah Bani Israil.”

Abdur Rahman bin Zaid mengartikannya dengan “billadzi antum ‘alaihi” artinya “dengan yang kamu berada di atasnya.”

Didalam Tafsir Al-Kahzin juz 3, menafsirkan ayat itu dengan “yudzhiba bi sunnatikum wa bi dinikum alladzi antum ‘alaihi.”

“Keduanya yakni Musa dan Harun akan melenyapkan sunnah dan agama yang kamu anut.”

Didalam Tafsir Al-Baghawi juz 4, dijelaskan bahwa orang Arab menyatakan “fulanun alat thariqatul mutsla” maksudnya ialah “ala shirathin mustaqim”, berarti “si Anu berada di atas jalan yang lurus.”

4) Q.S. Thoha 77 :

“Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: "Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku (Bani Israil) di malam hari, maka buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut itu, kamu tak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam)".”

Kata-kata “thariqat” dalam ayat itu berarti “jalan” di laut dan terbelahnya Lautan Merah untuk jalan bagi Nabi Musa dan pengikut-pengikutnya. Peristiwa itu terjadi setelah ia memukulkan tongkatnya.

5) Q.S. Thoha 104 :

“Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan, ketika berkata orang yang paling lurus jalannya di antara mereka: "Kamu tidak berdiam (di dunia) melainkan hanyalah sehari saja".”

Adapun yang dimaksud dengan “lurus jalannya” dalam ayat itu ialah orang yang agak lurus pikirannya atau amalannya di antara orang-orang berdoa itu.

6) Q.S. Al-Ahqaf 30 :

“Mereka berkata: "Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.”

7) Q.S. Al-Mukminin 17 :

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan (tujuh buah langit). dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan (Kami).”

8) Q.S. Al-Jin 11 :

“Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.”

Al-Farra’ mengartikan “kunna thariqa qidada” dalam ayat itu dengan “kunna firaqan mukhtalifah” bermakna “adalah kami beberapa kelompok yang berbeda-beda.”

9) Q.S. Al-Jin 16 :

“Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).”

Kata “thariqat” dalam ayat itu berarti “agama Islam.”

Demikian beberapa makna kata “thariqat” dalam segi bahasa ( lughah ).

TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT (B. T H A R I Q A T)

Kalau jalan menuju arah kesempurnaan yang pertama adalah syari’at, maka pintu kedua yang harus dibuka dan harus dilalui adalah thariqat. Ibarat sebuah tangga, syari’at adalah anak tangga pertama dan thariqat adalah anak tangga kedua. Thariqat tidak bisa dilalui dan pintunya tak akan pernah terbuka sebelum melalui dan membuka pintu pertama, yaitu Syari’at.

TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT (A. S Y A R I ’A T)

Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW membawa agama yang suci lagi penuh kelapangan dan kemudahan serta syari’at yang lengkap dan menjamin manusia dalam kehidupan bersih lagi mulia dan menyampaikan mereka kepuncak ketinggian dan kesempurnaan. Adapun tujuan yang hendak dicapai oleh Risalah Islam ialah membersihkan dan mensucikan jiwa dengan jalan mengenal Allah serta beribadat kepada-Nya dan mengokohkan hubungan antar sesama manusia serta menegakkannya diatas dasar kasih sayang, persamaan dan keadilan, hingga dengan demikian tercapailah kebahagiaan manusia baik di dunia maupun di akhirat.

Mengerjakan syari’at itu diartikan sebagai mengerjakan amal badaniah yang menyangkut dari segala hukum-hukum atau aturan-aturan misalnya ; hukum shalat, hukum puasa, hukum zakat, hukum haji dan lain-lain. Tegasnya bahwa syari’at itu ialah peraturan-peraturan yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebagai dasar pegangan, Qur’an menyebutkan :

“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan (syariat) dan jalan (manhaj) yang terang.” (Q.S. al-Maa-idah: 48)

Difinisi syari’at secara terminologi, diantaranya ;

1. Menurut Mahmud Syaltut : “ Syari’at adalah hukum-hukum (tata aturan) yang diciptakan oleh Allah atau yang diciptakan pokok-pokoknya supaya manusia berpegang kepadanya didalam hubungannya kepada Allah, alam semesta, dan keseluruhan hidup “.

2. Menurut At-Tahanawi : “ Syariat adalah hukum-hukum yang diadakan oleh Allah yang dibawa oleh salah satu nabi-Nya termasuk Nabi Muhammad SAW, baik hukum yang berkaitan dengan cara berbuat yang disebut Far’iyyah Amaliyah yang didalamnya terhimpun dalam Ilmu Fiqih, maupun yang berkaitan dengan kepercayaan yang disebut dengan Ashliyyah atau I’tiqadiyyah yang didalamnya terhimpun dalam Ilmu Kalam “.

Kedua definisi tentang syari’at tersebut sesungguhnya memberikan suatu kejelasan bahwa syari’at adalah merupakan doktrin Ilahi tanpa campur tangan sama sekali dari manusia. Manusia tidak diberi hak sedikitpun untuk membuat syari’at itu. Manusia hanya diberi kewajiban untuk melaksanakan apa yang telah disyari’atkan kepadanya, berkewajiban untuk memegang teguh aturan-aturannya, sebab dengan adanya syari’at itu agar manusia menjadi bahagia baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Dalam kehidupan kerohanian (tasawwuf) dan orang yang akan berjalan menuju Allah, syari’at adalah langkah awal untuk memasuki pintu-pintu menuju pada arah kesempurnaan. Dengan demikian kesempurnaan tidak akan tercapai tanpa melalui pintu pertama yaitu Syari’at. Jadi, Ilmu Tasawwuf yang benar harus berpangkal dari syari’at yang benar, sebagaimana diungkapkan oleh Imam Sufi Syeikh Abdul Qasim Al-Junaidi Al-Baghdadi : “ Ajaran-ajaranku ini diikat kuat dengan kitab dan sunnah. Barangsiapa yang tidak menjaga Al-Qur’an dan Al-Hadits maka itu tidak boleh diikuti dalam urusan ini (tasawwuf) sebab ilmu kami ini diikat dengan kitab dan sunnah “.

Begitu juga Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata : “ Ketahuilah wahai anak-anakku, mudah-mudahan Tuhan memberikan taufiq kepada kami dan engkau dan semua ummat Islam, aku wasiatkan kepada kamu bahwa engkau tetap menjalankan syari’at dan memelihara batas-batasnya. Ketahuilah wahai anak-anakku, bahwa thariqat kami ini didasarkan atas al-Qur’an dan as-Sunnah “.

Kemudian Syeikh Ibrahim An-Nasharbadzi, berkata : “ Asal atau dasar ajaran ini (tasawwuf) adalah menetapi kitab dan sunnah, meninggalkan hawa nafsu dan bid’ah, berpegang pada imam-imam, mengikuti ulama salaf, meninggalkan sesuatu yang diadakan oleh orang-orang belakangan dan berdiri diatas jalan yang ditempuh oleh orang-orang terdahulu”.

Imam Ghazali menegaskan : “ Ketahuilah bahwasanya orang-orang yang menuju jalan Allah adalah sedikit, sedangkan orang-orang yang mengaku-ngaku banyak. Tanda pertama adalah semua perbuatannya yang bersifat ikhtiyariyah adalah menepati ukuran syarak, berdiri diatas ketentuan pengajaran syarak., baik dalam sikap mendatangkan atau mengeluarkan, maju atau mundur karena menempuh jalan tasawwuf adalah suatu hal yang tidak meungkin dilaksanakan kecuali apabila sudah menjalankan kemuliaan-kemuliaan syari’at. Dan seorang tidak akan sampai pada jalan tasawwuf kecuali orang-orang yang membiasakan atau melaksanakan dengan tekun terhadap sunnah-sunnah. Maka bagaimanakah akan mencapai jalan sufi seorang yang melupakan (melengahkan) fardhu-fardhu dan padahal seseorang yang menuju pada jalan Tuhan itu berpaling dari dunia dengan sungguh-sungguh. Andaikata orang-orang menyamakan orang sufi (dengan yang lain) maka akan binasalah alam ini “.

Dalam syari’at, apabila seseorang mengerjakan shalat dan sudah ada wudhu, telah menghadap ke Kiblat, ber-takbiratul ihram, membaca Fatihah, rukuk dan sujud dan sampai dengan salam atau dengan kata lain sudah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun sholat oleh syari’at sudah dianggap shalatnya telah syah.

Tujuan utama syari’at itu ialah membangun kehidupan manusia atas dasar amar ma’ruf dan nahi munkar. Ma’ruf dibagi ke dalam 3 (tiga) kategori yaitu : Fardhu ‘ain, Sunnat (mustahab), Mubah (harus). Sedangkan yang munkar dibagi atas 2 (dua) kategori yaitu : Haram dan Makruh.

Petunjuk-petunjuk tersebut di atas memberi pegangan yang kuat bagi setiap manusia untuk dapat memahami dalam membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana benar dan mana yang salah. Petunjuk-petunjuk itu mengikat manusia sebagai kewajiban moril dalam segala sikap hidupnya.

Dalam mengerjakan perkara wajib, sunnat, kebaikan, kebenaran, dianggap sebagai suatu kewajiban moril untuk mengerjakannya yang kelak akan mendapat pahala dan balasannya ialah Surga.

Kemudian dalam mengerjakan perkara yang haram, makruh, kemaksiatan atau kejahatan, semuanya itu dipandang sebagai dosa dan balasannya ialah Neraka.

Peraturan-peraturan yang diatur oleh syariat seperti tersebut di atas, adalah atas dasar al-Qur’an dan as-Sunnah yang merupakan sumber-sumber hukum dalam Islam untuk keselamatan manusia. Tetapi menurut ahli Sufi dan kaum Thariqat, bahwa syari’at itu baru merupakan tingkat pertama dalam perjalanan menuju kepada Allah.

Sebagaimana dalam Ilmu Tasawwuf diterangkan bahwa apabila Syariat dan Thariqat itu sudah dapat dikuasai maka lahirlah Hakikat yang tidak lain daripada perbaikan keadaan dan ahwal, sedang tujuan terakhir ialah Ma’rifat yaitu mengenal Allah yang sebenar-benarnya, serta mencintai-Nya dengan sebaik-baiknya. Syariat ialah pengenalan jenis perintah (hukum dan aturan yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah) dan Hakekat ialah pengenalan pemberi perintah. Demikianlah, sesuai dengan apa yang diterangkan oleh Imam Ghazali : “ Jalan ini yaitu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah memerlukan tanjakan-tanjakan bathin. Hal ini perlu mengosongkan bathin manusia dari hal-hal yang merusak dan kemudian mengisinya dengan dzikrullah atau ingat kepada Allah. Tanjakan-tanjakan itu, dimulai dari satu tingkat kemudian selanjutnya ke tingkat yang lebih tinggi (tahap demi tahap).”

No comments: